PT Dirgantara Indonesia (DI) menyatakan siap membuat pesawat tempur KF-X guna mendukung kerja sama Indonesia dengan Korea Selatan (Korsel).
Perusahaan dirgantara nasional tersebut memiliki kompetensi untuk membuat pesawat tempur dengan kemampuan di atas rata-rata. “Desain, sumber daya manusia, teknologi, dan quality control kami menyatakan siap,” ujar Kepala Humas PT DI Rakhendi Triyatna kepada wartawan di Bandung kemarin. Kesiapan PTDI bukanlah isapan jempol. Rakhendi menyebutkan, antara tahun 1986-1990 saat masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), pihaknya pernah memproduksi tujuh komponen untuk 40 pesawat tempur F-16. Hasilnya excellent,”tandasnya.
Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan (Kemhan) Brigjen TNI I Wayan Midhio mengatakan, RI akan berusaha agar pembuatan KFX dapat dilakukan di Tanah Air, khususnya di PT DI.Dengan demikian, diharapkan Indonesia bisa mendapat transfer teknologi. Namun di mana kepastian pesawat tempur KF-X akan diproduksi, menurut dia,sejauh ini belum dibicarakan. “Kami berharap pesawatnya dapat dibuat di sini (Indonesia). Ini akan dibahas dalam kesepakatan selanjutnya.Kalau yang ditandatangani Pak Erris Herryanto (Sekjen Kemhan) kemarin itu baru perjanjian awal,”ujar I Wayan.
I Wayan menuturkan, nota kesepahaman dengan Korsel berkaitan dengan rencana produksi bersama (joint production), riset hingga terbentuknya prototipe pesawat tempur. Prototipe tersebut dapat diproduksi di Indonesia tahun 2020 oleh PT DI. Lebih jauh dia menjelaskan, Indonesia tidak akan mendapat lisensi dari pesawat KF-X karena rancangan awal dari jet tempur tersebut adalah milik Korsel sepenuhnya. Indonesia dalam hal ini hanya menjadi mitra kerja sama, terutama dalam hal pemasaran. Kendati demikian, dia menjamin Indonesia akan mendapat keuntungan dari kerja sama ini karena dapat menyerap teknologi, sedangkan pihak Korsel dapat memangkas biaya produksi dan terbantu di urusan penjualan produk pesawat tempur.
Dia menambahkan, selain sudah mempunyai kemampuan membuat pesawat, Indonesia dipilih Korsel karena memiliki kedekatan dengan banyak negara berkembang.“ Pasar dari KF-X yang utama adalah negara berkembang dan Indonesia sebagai negara berkembang memiliki banyak kolega dengan negara-negara lain,”katanya. Seperti diberitakan sebelumnya, Kemhan RI meneken kesepakatan dengan Korsel untuk memproduksi dan memasarkan jet tempurKF- Xyang tertunda beberapa tahun karena terbentur masalah teknis dan pendanaan. Kesepakatan bukan hanya menjadi kebanggaan bangsa karena tidak banyak negara yang bisa memproduksi pesawat tempur,tapi juga untuk melepaskan ketergantungan alat utama sistem senjata (alutsista) dari negara lain.
Dalam kesepakatan yang diteken Komisioner Kementerian Pertahanan Korsel dan Sekjen Kemhan RI Marsekal Madya TNI Erris Herryanto, Indonesiaakanmenanggung 20% biaya dan akan memperoleh 50 pesawat yang mempunyai kemampuan tempur melebih F-16 ini. Sekjen Kemhan Erris Herryanto sebelumnya pernah mengungkapkan, anggaran yang dibutuhkan untuk proyek strategis tersebut sebesar USD8 miliar dengan jangka waktu kerja sama hingga 2020. Selama waktu itu diharapkan sudah bisa disiapkan lima prototipe. Berdasar informasi yang berkembang, KF-X tergolong pesawat tempur generasi baru.
Pesawat single seat bermesin ganda ini adalah jenis pesawat siluman (stealth) yang kemampuannya di atas pesawat Dassault Rafale atau Eurofighter Typhoon, tapi masih di bawah Lokheed Martin F-35.Kemampuan tempurnya juga tidak usah diragukan karena lebih unggul dibandingkan pesawat F-16 Block 60. Untuk mendukung ketersediaan peranti canggih,produksi KF-X akan merangkul sejumlah perusahaan internasional untuk menyediakan sistem radar, data link, desain, mesin jet, teknologi stealth, persenjataan,dan lainnya. Pengamat militer MT Arifin berharap dalam kerja sama pembuatan pesawat KF-X tersebut Indonesia bisa memastikan adanya alih teknologi. Proses alih teknologi dapat terjadi dengan melibatkan PT DI dalam pembuatan KF-X.
Menurutnya, tanpa adanya transfer teknologi, kerja sama yang memakan banyak biaya tersebut akan sia-sia,bahkan mendatangkan kerugian.“Kita harus melihat dulu perjanjiannya seperti apa? Yang terpenting,Indonesia harus mendapatkan transfer ilmu dari adanya kerja sama pembangunan pesawat ini,”ujarnya. Dia pun menilai Indonesia sudah saatnya memproduksi sendiri materi keperluan pertahanan dan keamanan.Jika ilmuwan Tanah Air mampu dengan optimal menyerap teknologi dari Korsel, hal itu dinilainya sebagai perkembangan yang luar biasa.Selama ini Indonesia masih banyak membeli senjata, pesawat,dan kapal dari luar. “PT DI memang begitu bagus di era Habibie. Namun setelah itu banyak ilmuwan terbaik kita yang lebih memilih bekerja di Singapura dan negara-negara lain.
Ini bisa menjadi momentum yang bagus untuk PT DI,”imbuhnya. Selain harus terdapat alih teknologi, menurut Arifin,ada satu lagi syarat yang mesti diperhatikan Indonesia dalam perjanjian ini, yakni harus tetap menjaga netralitasnya di dunia internasional. Dia berharap Indonesia jangan sampai terpicu untuk mengikuti paham atau blok yang tengah berkonflik. Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI Sidarta Danusubroto mengaku pihaknya sama sekali belum mendengar rencana kerja sama Indonesia dengan Korsel untuk membuat pesawat tempur. Karena itu, Komisi I DPR akan meminta keterangan pemerintah, terutama Kemhan, tentang tujuan dan latar belakang kerja sama tersebut. “Saya baru mendengar ini.
Apakah ini berupa MoU atau malah baru sekadar wacana? Seharusnya kami diajak rembuk dulu dong.Kalau tidak diajak rembuk, mana kita tahu apakah ini bisa bermanfaat atau tidak? Sebab prinsipnya, setiap kerja sama yang akan dilakukan harus memberi manfaat bagi kita.Termasuk dalam pengadaan pesawat maupun dalam penguatan kemampuan personel,”katanya. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengingatkan agar pemerintah lebih berhatihati dalam membuat kebijakan kerja sama dengan luar negeri.
Selain itu, pemerintah harus menjelaskan sumber dana yang akan dipakai untuk membiayai program kerja sama tersebut.Sebab, lanjut dia, masalah biaya menjadi pertanyaan mendasar karena bisa menjadi pemborosan anggaran jika sasaran yang dicari tidak bernilai signifikan. “Kalau ada kerja sama begini, harus jelas juga anggarannya dari mana? Siapa yang membiayai? Jangan seperti sebelum-sebelumnya yang tahu-tahu sudah terjadi baru DPR diberi tahu,”pungkasnya.@Koran Sindo